Wakaf adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan berulang-ulang dengan tujuan ibadah untuk dijadikan sebagai milik Allah (lepas dari kepemilikan manusia).
Berbeda dengan ibadah yang sama-sama menggunakan harta semisal zakat, wakaf memiliki tata cara atau aturan yang unik, antara lain: harta yang diwakafkan tidak boleh dijual dan harus dimanfaatkan sesuai dengan ketetapan orang yang memakafkan.
Berhubung harta yang diwakafkan itu sudah menjadi milik Allah, maka siapapun, baik orang yang memakafkan maupun penerima wakaf, tidak boleh mengklaim kepemilikan atau memindah milik atas harta wakaf dengan cara apapun.
Pengelolaan harta wakaf, harus sesuai dengan ketetapan orang yang mewakafkan, tentang siapa yang berhak memanfaatkan, kegunaan-kegunaan dan orang yang menjadi pengelola harta wakaf. Contoh orang yang mewakafkan sumur untuk minum orang-orang yang mengaji di mushola A, maka yang berhak memanfaatkan hanyalah orang yang mengaji di mushola A tersebut, dan hanya boleh digunakan untuk minum.
Jadi, selain orang-orang yang mengaji di mushola A tersebut, tidak berhak memanfaatkannya, demikian juga tidak boleh menggunakannya selain untuk minum walaupun oleh orang-orang yang mengaji di mushola A tersebut. Agar pengelolaan harta wakaf sesuai dengan ketetapan orang yang mewakafkan, maka dibutuhkan orang yang mengelolanya (nadzir). Dalam hal ini bisa ditentukan langsung oleh orang yang mewakafkan atau tidak. Bila tidak ditentukan langsung oleh wakif, maka pengelolanya adalah pejabat pemerintah yang diberi wewenang untuk mengurusi harta wakaf. Tugas nadzir adalah mengelola harta wakaf sesuai dengan ketentuan wakif, serta menjaga keberlangsungan harta tersebut. Biaya pengelolaan wakaf bisa diambilkan dari hasil harta wakaf itu atau uang pribadi nadzir/orang lain.
Disamping persyaratan-persyaratan di atas, juga ada syarat-syarat lain, diantaranya:
- Tidak boleh mewakafkan untuk hal-hal yang dilarang oleh syariat.
- Penerima wakaf harus ditentukan baik berupa person atau lembaga.
- Penerima harta wakaf harus orang atau lembaga yang sudah ada dan berkelanjutan, semisal mewakafkan untuk Zaid dan keturunannya, wakaf tersebut sah ketika Zaid sudah lahir.
- Harta yang diwakafkan harus berupa barang yang bisa dimanfaatkan berulang-ulang dengan tanpa mengurangi dzat benda tersebut. Sehingga tidak sah mewakafkan semisal lilin, karena meskipun bisa diambil manfaatnya, namun dzatnya berkurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar