Point berikutnya, giliran ustadz Firanda yang angkat bicara dalam dialog tersebut. Ustadz Firanda menyinggung juga masalah bid’ah hasanah. Menurutnya bid’ah hasanah yang dikatakan oleh para ulama syafi’iyyah dan imam Syafi’i adalah dalam pengertian yang bukan dipahami oleh Aswaja selama ini. Firanda mengatakan :
“ Ternyata yang menjadikan imam Syafi’i yang mengatakan ada bid’ah hasanah karena adanya atsar Umar bin Khaththab yang mengatakan “ Ni’matil bid’atu hadzihi “. Dan kita sepakat bahwa sholat Tarawih bukan bid’ah Karen telah dilakukan oleh Nabi selama 3 hari berturut-turut bersama sahabat, hanya saja di zaman Abu Bakar ash-Shiddiq tidak dikerjakan karena beliau sibuk dengan stabilitas keamanan Negara, ada orang-orang yang murtad, ada orang-orang yang enggan bayar zakat, ada Nabi palsu Musailamah al-Kadzdzab…”
Sampai di sini penjelasan Firanda terputus dikarenakan durasi waktunya telah habis. Namun saya sangat paham arah dan maksud pembicaraanya. Firanda ingin mengutarakan alasan yang disebutkan imam asy-Syathibi dalam kitabnya al-I’tishamsebagai berikut :
وانما لم يقم ذلك ابو بكر رضي الله عنه لاحد امرين اما لانه رأى ان قيام الناس آخر الليل وما هم به عليه كان افضل عنده من جمعهم على امام اول الليل ذكره الطرطوشي واما لضيق زمانه رضي الله عنه عن النظر في هذه الفروع مع شغله بأهل الرده وغير ذلك مما هو اوكد من صلاة التراويح
“Adapun (sebab) Abu Bakar tidak mendirikannya adalah karena salah satu dari dua perkara berikut, sama ada (pertama) dia berpendapat solat orang ramai pada akhir (malam) lebih afdal padanya dari dihimpunkan mereka dengan satu imam pada awal malam, ini disebut oleh al-Turtusyi (الطرطشي). Ataupun (kedua) disebabkan kesempitan waktu pemerintahannya[untuk melihat perkara-perkara cabang seperti ini sedangkan beliau sibuk dengan golongan murtad dan selainnya yang mana lebih utama daripada Solat Tarawih “.[1]
Kemudian asy-Syathibi mengatakan :
انما سماها بدعة باعتبار ظاهر الحال من حيث تركها رسول الله صلى الله عليه وسلم واتفق ان لم تقع في زمان ابي بكر رضي الله عنه لا انها بدعه في المعنى فمن سماها بدعه بهذا الاعتبار فلا مشاحه في الاسامي
“ Dia menamakannya bid‘ah hanya disebabkan pada zahirnya kerana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah meninggalkannya dan sepakat pula ia tidak berlaku pada zaman Abu Bakr radhiallahu 'anh. Ia bukanlah bid‘ah pada makna (syarak). Sesiapa yang menamakan bid‘ah disebabkan hal ini, maka tiada perlu perbalahan dalam meletakkan nama. Justeru itu tidak boleh berdalil dengannya untuk menunjukkan keharusan membuat bid‘ah “[2]
Tanggapan saya :
Apa yang diutarakan Firanda dengan maksud menyamakan persepsi kepada asy-Syathibi dalam menyimpulkan sebutan bid’ah hasanah yang dimaksudkan imam Syafi’i dan ulama syafi’iyyah, adalah argumentasi lemah dan kontradiktif serta menyimpang dari pemahaman jumhur ulama Ahlus sunnah.
Pertama : Bid’ah secara bahasa yang sama-sama disepakati adalah : “ Segala sesuatu yang diada-adakan yang tidak ada contoh yang mendahuluinya “. Lalu bagaimana sholat Tarawih berjama’ah dikatakan bid’ah jika ternyata ada contoh sebelumnya dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam ? jika sholat tarawih berjama’ah sudah dicontohkan oleh Nabi, maka sayyidina Umar tidak akan menyebutnya sebagai bid’ah, beliau akan mengatakan bahwa itu sunnah.
Kedua : Jumhur ulama sepakat bahwa sholat tarawih berjama’ah adalah bid’ah dari sayyidina Umar radhiallahu ‘anhu, dalam artian bid’ah yang baik, atau bid’ah dari sudut bahasa atau boleh juga disebut maslahah mursalah bukan sunnah Nabi. Berikut pembuktiannya dari pendapat para ulama :
Imam Az-Zarqani al-Malikimengatakan :
فسماها بدعة لأنه صلى اللّه عليه وسلم لم يسنّ الاجتماع لها ولا كانت في زمان الصديق، وهي لغة ما أُحدث على غير مثال سبق وتطلق شرعًا على مقابل السنة وهي ما لم يكن في عهده صلى اللّه عليه وسلم
“ Beliau menamakannya bid’ah kerana Nabi shallahu ‘alaihi wa slalam tidak mensyare’atkan jama’ah untuk sholat tarawih, dan juga karena tidak ada di masa Abu Bakar ash-Shiddiq. Bid’ah secara bahasa adalah perkara baru yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya. Dan secara syare’at adalah lawan dari sunnah yaitu yang tidak ada di masa Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam “.[3]
Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan :
قوله: «فتوفي رسول الله (صلي الله عليه وآله) والناس علي ذلك، ثم كان الأمر علي ذلك في خلافة أبي بكر» فقد فسّره الشراح بقولهم: أي علي ترك الجماعة في التراويح، ولم يكن رسول الله (صلي الله عليه وآله) جمع الناس علي القيام
“ ucapan “ Maka Nabi wafat dan manusia tetap dalam keadaan seperti itu, kemudian tetap seperti itu di masa khilafa Abu Bakar “, maka sungguh para pensyarah telah menasfirkan bahwa keadaan itu adalah keadaan di dalam meninggalkan sholat tarawih, dan Rasulullah sahllahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengumpulkan manusia untuk melakukan qiyam (sholat malam) “[4]
Imam Ibnul Atsir mengatakan :
ومن هذا النوع قولُ عمر رضي اللّه عنه: نِعْمَت البدعة هذه. لمـَّا كانت من أفعال الخير وداخلة في حيز المدح سماها بدعة ومدَحها؛ لأن النبي صلى اللّه عليه وسلم لم يَسَنَّها لهم، وإنما صلاّها لَياليَ ثم تَركَها ولم يحافظ عليها، ولا جَمع الناسَ لها، ولا كانت في زمن أبي بكر، وإنما عمر رضي اللّه عنه جمع الناس عليها ونَدَبـهم إليها، فبهذا سمّاها بدعة، وهي على الحقيقة سُنَّة، لقوله صلى اللّه عليه وسلم: عليكم بسُنَّتي وسنَّة الخلفاء الراشِدين من بعْدي، وقوله: اقتدُوا باللذين من بعدي أبي بكر وعمر، وعَلَى هذا التأويل يُحمل الحديث الآخر: كل مُحْدَثة بدعةٌ، إنما يريد ما خالف أصول الشريعة ولم يوافق السُّنَّة
“ Dari macam ini adalah ucapan Umar radhiallahu ‘anhu : Sebaik-baik bid’ah adalah ini “, ketika sholat tarawih ini termasuk perbuatan baik, dan masuk dalam batas terpuji maka beliau menyebutnya bid’ah dan memujinya, karena Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyare’atkannya pada mereka, beliau melakukannya hanya beberapa malam kemudian meninggalkannya dan tidak merutinkannya, tidak pula mengumpulkan manusia untuk melakukannya, tidka pula ada di masa Abu Bakar As-Shdiddiq. Hanya Umar radhiallahu ‘anhu lah yang mengumpulkan manusia untuk sholat tarawih dan menganjurkannya, dengan inilah beliau menyebutnya bid’ah, pada hakikatnya adalag sunnah[5]karena Nabi bersabda “ Ikutilah orang yang setelahku yaitu Abu Bakar dan Umar. Atas dasar takwil ini, maka hadits yang lain ini “ Setiap yang baru adalah bid’ah “ ditakwilkan maknanya adalah yang dimaksud adalah perkara baru yang menyalahi asal-asal syare’at dan tidak sesuai sunnah “.[6]
Al-Imam al-Ghazali mengatakan :
فكم من محدث حسن كما قيل في إقامة الجماعات في التراويح إنها من محدثات عمر رضي الله عنه وأنها بدعة حسنة
“ Berapa banyak perkara baru itu (dinilai) baik sebagaimana dikatakan tentang mendirikan jama’ah dalam sholat tarawih, karena ia termasuk perkara baru yang dilakukan Umar radhiallahu ‘anhu, dan ia adalah bid’ah hasanah “.[7]
Dan masih banyak lagi ulama lainnya yang mengatakan seprti itu. Ini merupakan bukti bahwa apa yang dilakukan sayyidina Umar radhiallahu ‘anhu dari melakukan sholat tarawih berjama’ah dengan satu imam, mengumpulkan manusia untuk melakukannya adalah bid’ah yang baik.
Ketiga : Alasan disebut bid’ah karena masa Abu Bakar meninggalkan hal tersebut dan tidak melakukannya, maka alasan ini tidak kuat, sebab makna bid’ah secara bahasa “ Tidak ada contoh sebelumnya “, tidak bisa diruntuhkan dengan adanya tidak dilakukan sementara waktu. Seandainya ini diterapkan maka akan menjadi rancu, contoh : Rasulullah shallau ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sholat istisqa, kemudian setelah wafat beliau selama 20 tahun baru ada yang melakukannya kembali, apakah kita akan mengatakan bahwa sholat istisqa ini bid’ah?? Dan bid’ah secara bahasa ??
Kesimpulan point ini adalah :
1. Bid’ah Hasanah yang selama ini dipahami kaum Aswaja khususnya warga NU, Telah sesuai dengan konteks yang dipahami para ulama salaf baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in.
2. Bid’ah yang disebutkan sayyidina Umar bin Khaththab dalam kasus sholat Tarawih, adalah bid’ah hasanah bukan sunnah. Sebagaimana penjelasan para ulama.
3. Kesimpulan ustadz Firanda yang menyatakan bukan bid’ah hasanah yang dimaksudkan Umar bin Khaththab dan imam Syafi’i, adalah salah besar sebagaimana telah dijelaskan.
Point berikutnya, Firanda mengatakan bahwa “ Sanna “ dalam hadits “ Man Sanna fil Islami..” bukanlah bermakna menciptakan atau merintis perkara baru, akan tetapi bermakna memulai sebagaimana penjelasan al-Azhari dalam Tahdzibul Lughahnya.
Tanggapan saya :
Anda telah menutup sebelah mata dari indikasi-indikasi kuat yang mengarahkan makna sanna kepada merintis perkara baru. Dan al-Azhari pun hanya mengutarakan makna sanna secara global yakni memulai suatu perkara. Ini bisa saja bermakna memulai perkara baru yang belum ada contohnya, maka anda tidak bisa hanya berpegang atau berhujjah dengannya. Karena setiap nash yang mengandung banyak kemungkinan maknanya, maka tidak bisa dijadikan dalil.
Sanna bermakna memulai perkara yang belum ada contohnya atau bermakna merintis perkara baru, lebih pas dan lebih patut disebabkan banyak sekali qarinah qawiyyah (indikasi kuat) yang mengarah ke sana.
Pertama : Lafadz Nashnya menunjukkan keumuman bukan kekhususan walaupun ada suatu sebab. Maka ini menunjukkan makna yang umum, karena jika ada nash datang dengan suatu sebab akan tetapi lafadznya umum, maka yang dipegang adalah keumuman lafadznya bukan kekhususan sebabnya. Sebagaimana qaidah ushul : “ al-Ibroh bi’umumi al-lafaz laa bikhusushi as-sabab “, standar yang dipegang adalah dengan keumuman lafadznya bukan kekhususan sebabnya.
Kedua : Jika kita pahami sunnah dalam hadits di atas sebagai sunnah Rasulullah, maka bagaimana kita memahami lanjutan hadits tersebut :
وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
Perhatikan kata-kata “ Sunnatan sayyiatan “, apakah ada sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang buruk ? ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam hadits tersebut bukanlah sunnah Nabi akan tetapi makna sunnah secara bahasa yaitu merintis suatu jalan.
Ketiga : sanna dalam segi bahasa bermakna memulai perkara baru yang belum ada contohnya alias merintis perkara baru.
Ibnu al-Mandzhur mengatakan :
وكل من ابتدأَ أَمراً عمل به قوم بعده قيل هو الذي سَنَّه قال نُصَيْبٌ:
كأَني سَنَنتُ الحُبَّ أَوَّلَ عاشِقٍ * * * من الناسِ إِذ أَحْبَبْتُ من بَيْنِهم وَحْدِي
“ Setiap orang yang memulai suatu perkara baru yang dikerjakan oleh kaum setelahnya, maka dia disebut “ sannahu “ yakni memulai suatu perkara baru. Nushaib mengatakan dalam sebuah syair, “ Seolah akulah manusia yang memulai pertama kali dalam cinta yang mengasyikkan, karena hanya aku seorang yang bercinta di tengah-tengah mereka “.[8]
Dari makna bahasa ini saja sudah begitu jelas makna “ sanna “ bagi kita yaitu memulai perkara baru atau merintis perkara baru.
Keempat : Sekarang kita lihat maknany dalam segi syare’at. Untuk mengetahui makna segi syare’at ini, maka kita harus melihat nash-nash lainnya yang sama. Ada beberapa hadits yang menampilkan lafadz “ Sanna “ yang menunjukkan makna memulai perkara baru, di antaranya :
عن معاذ بن جبل قال: كنا نأتي الصلاة أو يجيء رجل وقدسبق بشيء من الصلاة أشار إليه الذي يليه : قد سبقت بكذا وكذا فيقضي قال: فكنا بين راكع وساجد وقائم وقاعد فجئت يوما وقد سبقت ببعض الصلاة وأشيرإلي بالذي سبقت به فقلت: لا أجده على حال إلا كنت عليها فلما فرغ رسول الله صلى الله عليه وسلم قمت وصليت فاستقبل رسول الله صلى الله عليه وسلم على الناس وقال: من القائل كذا وكذا قالوا: معاذ بن جبل فقال: قد سن لكم معاذ فاقتدوا به إذا جاء أحدكم وقد سبق بشيء من الصلاة فليصل مع الإمام بصلاته فإذا فرغ الإمام فليقض ما سبقه به
“ Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata , “ Dahulu kami mendatangi sholat, atau seseorang datang dan ia telah tertinggal sesuatu dari sholat, maka kami mengisyaratkan padanya yang menunjukkan ia tertinggal sekian roka’at, lalu ia melakukan roka’at itu dulu (mengqadoinya). Ketika kami di antara ruku’ dan sujud serta berdiri, maka aku (Mu’adz) suatu datang dan aku tertinggal dengan sebgian sholat (beberapa roka’at), maka ada orang yang memberikan isyarat bahwa aku tertinggak sekian roka’at, maka aku katakana, “ Aku tidak menemukan atas suatu keadaan kecuali apa yang aku temukan “, maka ketika Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam selesai sholat, aku berdiri dan menambahi sholatku lagi. Kemudian Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kepada jama’ahnya dan bertanya, “ Siapakah tadi yang mengatakan begini-begini ? “, maka para sahabat menjawab, “ Mu’adz bin Jabal wahai Rasul “. Maka Nabi menjawab, “ Mu’adz telah memulai / merintis perkara baru, maka ikutilah caranya, jika ada salah satu di antara kalian datang terlambat sholatnya, maka sholatlah bersama imam, lalu setelah imam selesai sholat, maka qadhailah sholatnya yang tertinggal “.[9]
Di mana sisi hujjah dari hadits di atas? Perhatikan lafadz “ Sanna “ dalam hadits di atas…sangat jelas maknanya adalah memulai atau merintis perkara baru, karena faktanya perbuatan Mu’adz bin Jabal sebelumnya tidak ada yang melakukannya dan Mu’adz bin Jabal baru melakukan atas inisiatifnya sendiri. Maka menjadi jelas bahwa “ Sanna “ dalam hadits man sanna sunnatan fil Islaami bermakna memulai atau merintis perkara baru yang belum ada contohnya.
Dalam Musnad imam Ahmad bin Hanbal disebutkan :
قال النبي صلى الله عليه وسلم من سن خيرا فاستن به كان له أجره ومن أجورمن يتبعه غير منتقص من أجورهم شيئا ومن سن شرا فاستن به كان عليه وزره ومنأوزار من يتبعه غير منتقص من أوزارهم شيئا
“ Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Barangsiapa yang memulai perbuatan baik, lalu perbuatan baik itu diikuti, maka ia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun pahalanya. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek, lalu perbuatan jelek itu diikuti, maka dia akan mendapat dosanya dan dosa orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun dosanya “.
Syu’aib al-Arnauth mengomentari hadits ini : “
صحيح لغيره وهذا إسناد حسن فمن الجمع بين هذا الحديث والحديث الأول .. فالسنة الحسنة = عمل الخير، والسنة السيئة = عمل الشرومعناه واضح في أنه ليس كل أمر محدث يعد بدعة ضلالة، وإنما هناك من المحدثات ما يعد سنة حسنة أو بدعة حسنة
“ Ini hadits sahih karena lainnya dan sanadnya hasan. Maka pengompromian (menyatukan) hadits ini dengan hadits pertama…maka sunnah hasanah maknanya adalah perbuatan baik dan sunnah sayyiah maknanya perbuatan buruk. Jadi maknanya adalah jelas bahwasanya tidak semua perkara baru itu dianggap bid’ah dholalah, sesungguhnya di sana ada perkara-perkara baru yang dinilai sebagai sunnah hasanah atau bid’ah hasanah “[10]
Kelima : Penjelasan (syarh) para ulama tentang hadits “ Man sanna fil Islaami sunnatan hasanatan “. Bagaimana pemahaman para ulama mu’tabar di dalam memahami hadits tersebut, kita tengok :
Imam Nawawi mengatakan ketika mengomentari hadits di atas :
فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.[11]
Hal yang sama ini juga dikatakan oleh al Imam Ibnu al-Atsir berikut :
وما كان واقعا تحت عُموم ما نَدب اللّه إليه وحَضَّ عليه اللّه أو رسوله فهو في حيز المدح، وما لم يكن له مثال موجود كنَوْع من الجُود والسخاء وفعْل المعروف فهو من الأفعال المحمودة، ولا يجوز أن يكون ذلك في خلاف ما وَردَ الشرع به؛ لأن النبي صلى اللّه عليه وسلم قد جَعل له في ذلك ثوابا فقال:" من سَنّ سُنة حسَنة كان له أجْرها وأجرُ من عَمِل بها "، وقال في ضِدّه:" ومن سنّ سُنة سيّئة كان عليه وزْرُها وَوِزْرُ من عَمِل بها"، وذلك إذا كان في خلاف ما أمر اللّه به ورسوله صلى اللّه عليه وسلم. ومن هذا النوع قولُ عمر رضي اللّه عنه: نِعْمَت البدعة هذه
“ Dan perkara baru yang sesuai masuk dalam keumuman apa yang Allah dan Rasul-Nya anjurkan, maka itu adalah terpuji. Dan segala apa yang tidak ada contoh terdahulunya seperi macamnya dari sifat kedermawanaan dan perbuatan yang baik, maka itu termasuk perbuatan yang terpuji, tidak boleh hal itu ada dalam pertentangan syare’at, karena Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan hal itu bernilai pahala, beliau bersabda : “ Brangsiapa yang merintis suatu jalan yang baik, maka ia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengamalkannya “, beliau juga mengtakan tentang hal yang sebaliknya “ Dan barangsiapa yang merintis suatu jalan yang buruk, maka ia akan memperoleh dosa dan dosa orang yang mengamalkannya “. Hal yang demikian jika bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal pemahaman semacam ini sebagaimana ucapan Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu “ Sebaik-baik bid’ah adalah ini “. [12]
Ibnu Taimiyyah tentang hadits di atas :
ومنها ما يتولد عن فعل الإنسان كالداعى إلى هدى أو إلى ضلالة والسان سنة حسنة وسنة سيئة كما ثبت فى الصحيحين عن النبى أنه قال ( من دعا إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه من غير أن ينقص من أجورهم شىء ومن دعا إلى ضلالة كان عليه من الوزر مثل أوزار من تبعه من غير أن ينقص أوزارهم شىء ( وثبت عنه فى الصحيحين أنه قال ( من سن سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة من غير أن ينقص من أجورهم شىء
“ Din diantaranyanya adalah apa yang dihasilkan dari perbuatan seorang manusia seperti dorongan untuk kebaikan atau kesesatan dan juga orang yang merintis jalan yang baik atau jalan yang buruk sebagaimana telah tetap dalam dua sahih dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam “ Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang mengajak pada kesesatan maka dia akan mendapatkan dosa orang yang mengikutinya tanpa dikurangi dosa mereka sedikit pun “, dan juga telah ada dalam dua sahih bahwa Nabi bersabda : “ Barangsiapa yang merintis jalan yang baik maka ia akan mendapat pahala seperti pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya hingga hari kiamat tanpa dikurangi pahala mereka sedikit pun. “.[13]
Ibnu Taimiyyah lebih jujur memahami hadits tersebut sesuai makna yang sesungguhnya. Yaitu lafaz “Sanna” yang dimaksud adalah segi bahasa yaitu merintis perkara baru, dan sunnah bermkana thariqah atau jalan.
Kesimpulannya dari point ini adalah :
1. Hujjah Firanda yang memaknai sanna dengan memulai perkara yang sudah ada contohnya, hanyalah berdasarkan dugaan saja bukan berdasarkan keilmiyyahan.
2. Memaknai lafadz sanna dengan berpegang pada sabab wurud hadits tersebut, melanggar kaidah ushul. Karena lafadz hadits di situ datang secara umum bukan khusus. Maka yang dipegang adalah keumuman lafadznya bukan kekhususan sebabnya.
3. Makna sanna yang benar secara keilmiyyahan adalah memulai atau merintis perkara baru yang belum ada contohnya, dengan lima qarinah qawiyyah (indikasi yang kuat) yang tidak terbantahkan sebagaimana telah saya sebutkan.
Ibnu Abdillah Al-Katibiy
Kota Santri, 02-Januari-2022
[3]Syarh al-Muwaththa’, az-Zaraqani : 1/238
[4]Fathul Bari : 4/203
[5]Sunnah dalam artian secara bahasa yaitu jalan maksudnya adalah mengikuti perintah Nabi untuk mengikuti jalan khalifah Rasyidin. Ketika khaliah Rasyidin melakukan bid’ah hasanah seperti sayyidina Umar maka kita mengikutinya.. karena tasyri’ bukanlah dari para sahabat melainkan dari Nabi yang didatangkan oleh Allah.
[6]An-Nihayah fi Ghraibil Hadits : 1/106-107
[7]Ihya ‘Ulumuddin : 1/276
[8]Lisan al-Arab : 13/220
[9]Al-Muwaththa’ : 1/165. Juga ada dalam Sunan Abu Dawud : 1/193. Hadits ini disahihkan oleh Albani.
[10]Musnad Ahmad bin Hanbal : 5/387
[11]Syarh Sahih Muslim, an-Nawawi : 4/110
[12]An-Nihayah fi Ghraibil Hadits : 1/106-107
[13]Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah : 10/404
Tidak ada komentar:
Posting Komentar