Diantara fashal dalam ilmu fiqih muamalat adalah pembicaraan panjang mengenai konsep ijaroh. Ijârah adalah (عقد على منفعة مقصودة معلومة قابلة للبذل والاباحة بعوض معلوم). Ijârah pada hakikatnya termasuk akad jual-beli. Perbedaannya dengan jual-beli biasa ialah bahwa obyek akad (yang dibeli) dalam ijârah tidak berupa barang melainkan berupa manfaat, baik manfaat barang maupun manfaat orang (manfaat yang lahir dari pekerjaan orang yang dibahasakan sekarang dengan jual jasa).
Sedangkan `Iwâdl (pengganti) atau imbalan atas manfaat itu disebut ujrah (gaji), yang menjual disebut mu’jir/ajîr, dan yang membeli disebut musta’jir.
Dengan mencermati unsur-unsur ijârah tersebut, kita dapat memastikan bahwa akad kerjasama antara perusahaan dan buruh atau antara majikan dan karyawan (أرباب العمل وعمالهم) merupakan bagian dari-padanya, yakni termasuk akad ijârah. Majikan sebagai musta’jir dan karyawan/buruh sebagai ajîr. Akad kerjasama tersebut sah sepanjang memenuhi syarat-syarat yang mengacu pada prinsip-prinsip akad dianataranya yaitu;
Pertama, bahwa hukum asal dalam persoalan muamalat adalah ibâhah (الاصل فى المعاملات الاباحة). Dengan demikian, untuk membolehkan suatu praktek mumalat tidak perlu mencari dalil yang membolehkannya, karena yang terpenting adalah adanya keyakinan bahwa tidak ada dalil yang melarang. Kaidah mengatakan (المعاملات طلق حتى يعلم المنع) persoalan-persoalan muamalat itu longgar sampai ada dalil yang melarang.
Kedua, Fiqih muamalat dibangun di atas prinsip-prinsip umum (المبادئ العامة) seperti keadilan, kesetaraan, musyawarah, dan tolong-menolong. Ketiga, persoalan muamalat lebih menitik-beratkan pada substansi dan hakikat daripada bungkus dan format (العبرة بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني).
Keempat, fiqih muamalat dibangun di atas dasar memperhatikan `illat dan maslahat (مراعاة العلل والمصالح).
Oleh karena mua’amalah selalu mengandaikan keterlibatan aktif dua belah pihak, maka dipersyaratkanlah sebuah ikatan dalam hubungan keduanya, itulah yang dalam fiqih disebut dengan fiqih `uqûd, yaitu fikih yang mengatur persoalan akad, kontrak atau perjanjian, seperti jual-beli, sewa, dan gadai.
Secara garis besar akad ada dua macam yaitu :
1) Akad tabarru`, yaitu akad dimana salah satu pihak memberi tanpa menerima dari pihak lain, dan
2) Akad mu'awadlah, yaitu akad dimana masing-masing dari kedua belah pihak menerima sesuatu sebagai imbalan atas apa yang ia berikan (المعاوضة هي التى يأخذ فيها العاقد مقابلا لما يعطيه).
Di bawah akad mu'awadlah inilah bernaung peraturan (kontrak) kerja antara seorang buruh dengan perusahaannya/majikannya. Akad ini bisa dianggap sah apabila memenuhi beberapa syarat:
1) Kerelaan kedua belah pihak (التراضي).
2) Tidak mengandung riba.
3) Tidak mengandung gharar.
4) Tidak mengandung dharar (mara bahaya).
Dan prinsip kelima, Tidak ada pemerasan (عدم الاستغلال).
Demikianlah fiqih mengatur urusan antara pekerja dan perusahaan yang mensyaratkan adanya beberapa prinsip utama yang menghindarkan kedua belah pihak dari kerugian. Baik kerugian moril (kebebasan) maupun materiil (gaji dll).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud as. memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)
Pada dasarnya dalam mencari rizqi yang halal itu didasarkan pada dua hal; pertama rizqi itu secara fisik halal dan kedua proses dalam mendapatkan rizqi itu diraih melalui akad yang halal. Islam tidak pernah membatasi masalah bekerja dan pekerjaan, akad jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya itu hanya kepada orang muslim saja tapi berlangsung lintas agama, suku dan budaya. Islam hanya melarang jenis barang haram diproduksi, maka haram juga jual beli dan menjadi pekerjanya.
Sebuah hadits dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha,
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِثَلَاثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan baju besi beliau masih tergadaikan pada seorang yahudi dengan ganti 30 sha’ gandum”. (HR. Bukhari: 2916).
Dalil di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berinteraksi dengan yahudi dalam pergadaian di saat hidupnya.
Dalam sabdanya yang lain,
إِنَّ مُوْسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آجَرَ نَفْسَهُ ثَمَانِيَ سِنِيْنَ أَوْ عَشْرًا عَلَى عِفَّةِ فَرْجِهِ وَطَعَامِ بَطْنِهِ
“Sesungguhnya Nabi Musa as. mempekerjakan dirinya sebagai buruh selama delapan tahun atau sepuluh tahun untuk menjaga kehormatan dirinya dan untuk mendapatkan makanan (halal) bagi perutnya.” (HR. Ibnu Majah)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾ إنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿٩﴾
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah : 8-9)
Boleh bagi seorang Muslim untuk bekerja pada orang kafir. Di antara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu bahwa beliau berkata,
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عليه وسلم يَوْماً، فَرَأَيْتُهُ مُتَغَيِّراً. قَالَ: قُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّيْ، مَا لِي أَرَاكَ مُتَغَيِّراً؟ قَالَ: مَا دَخَلَ جَوْفِي مَا يَدْخُلُ جَوْفَ ذَاتِ كَبِدٍ مُنْذُ ثَلاَثٍ. قَالَ: فَذَهَبْتُ، فَإِذَا يَهُوْدِيٌّ يَسْقِي إِبِلاً لَهُ، فَسَقَيْتُ لَهُ عَلَى كُلِّ دَلْوٍ تَمْرَةٌ، فَجَمَعْتُ تَمْراً فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم. فَقَالَ: مِنْ أَيْنَ لَكَ يَا كَعْبُ؟ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: أَتُحِبُّنِي ياَ كَعْبُ؟ قُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ نَعَمْ.
Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, dan saya melihat beliau pucat. Maka saya bertanya, ‘Ayah dan ibu saya adalah tebusanmu. Kenapa engkau pucat ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak ada makanan yang masuk ke perut saya sejak tiga hari.’ Maka saya pun pergi dan mendapati seorang Yahudi sedang memberi minum untanya. Lalu saya bekerja padanya, memberi minum unta dengan upah sebiji kurma untuk setiap ember. Saya pun mendapatkan beberapa biji kurma dan membawanya untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Dari mana ini wahai Ka’ab?’ Lalu saya pun menceritakan kisahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah kamu mencintaiku wahai Ka’ab?’ Saya menjawab, ‘Ya, dan ayah saya adalah tebusanmu.’ “ (HR ath-Thabrani no. 7.157, dihukumi hasan oleh Ibnu Hajar al-Haitsami)
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari apa yang dilakukan Ka’ab. Hal itu menunjukkan bahwa pada dasarnya, hukum bekerja pada orang kafir adalah boleh.
Dalam kitabnya Raudhah at-Thoolibiin dan Al-Majmuu’ ala Syarh al-Muhadzdzab Imam Syafi’i mengatakan,
يجوز أن يستأجر الكافر مسلماً على عمل في الذمة كدين في ويجوز أن يستأجره بعينه على الأصح حراً كان أو عبدا
“Diperbolehkan non-muslim menyewa orang Muslim untuk mengerjakan sesuatu yang masih ada dalam tanggungan (masih akan dikerjakan kemudian) sebagaimana orang Muslim boleh membeli sesuatu dari orang non-muslim dengan bayaran yang masih ada dalam tanggungan (hutang), dan diperbolehkan orang Muslim boleh menyewakan dirinya (tubuh atau tenaganya) kepada orang non-muslim menurut pendapat yang paling shahih baik ia merdeka atau sahaya.”
قال أصحانبا يجوز أن يستأجر الكافر مسلما على عمل في الذمة بلا خلاف كما يجوز للمسلم أن يشترى منه شيئا بثمن في الذمة وهل يجوز للمسلم أن يؤجر نفسه لكافر إجارة على عينه فيه طريقان مشهوران ذكرهما المصنف في أول كتاب الاجارة (أصحهما) الجواز
“Para pengikut Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang non muslim boleh menyewa orang muslim untuk mengerjakan sesuatu yang masih ada dalam tanggungan (masih akan dikerjakan kemudian) sebagaimana orang muslim boleh membeli sesuatu dari orang non muslim dengan bayaran yang masih ada dalam tanggungan (hutang).”
Demikian halnya sebuah riwayat dari Khabbab Radhiyallahu anhu ia berkata,
كُنْتُ رَجُلًا قَيْنًا، فَعَمِلْتُ لِلْعَاصِ بْنِ وَائِلٍ، فَاجْتَمَعَ لِي عِنْدَهُ، فَأَتَيْتُهُ أَتَقَاضَاهُ، فَقَالَ: لاَ وَاللَّهِ لاَ أَقْضِيكَ حَتَّى تَكْفُرَ بِمُحَمَّدٍ، فَقُلْتُ: أَمَا وَاللَّهِ حَتَّى تَمُوتَ ثُمَّ تُبْعَثَ فَلاَ، قَالَ: وَإِنِّي لَمَيِّتٌ ثُمَّ مَبْعُوثٌ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: فَإِنَّهُ سَيَكُونُ لِي ثَمَّ مَالٌ وَوَلَدٌ، فَأَقْضِيكَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: { أَفَرَأَيْتَ الَّذِي كَفَرَ بِآيَاتِنَا وَقَالَ لَأُوتَيَنَّ مَالًا وَوَلَدًا }
"Pada masa jahiliyah aku adalah seorang tukang besi dan emas, lalu aku bekerja pada al-’Ash bin Wail lalu upahku aku kumpulkan kepadanya kemudian aku menagih agar dia membayarnya. Dia berkata, “Demi Allâh! Aku tidak akan membayarnya kepadamu kecuali kamu mau kafir kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” Aku katakan, ‘Adapun aku, demi Allâh tidak akan kufur sampai kamu mati lalu kamu dibangkitkan.’ Dia berkata, ‘Apakah saya akan mati lalu dibangkitkan? Aku katakana, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Sungguh aku akan mendapatkan harta dan anak lalu aku bayar hutang kepadam.’ Lalu Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat (yang artinya), “Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat kami dan ia mengatakan aku pasti akan diberi harta dan anak”. (HR. Al-Bukhâri, no. 2275)
Hadits ini menunjukkan bahwa Sahabat Khabbab Radhiyallahu anhu pernah bekerja kepada orang kafir, sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang bekerja untuk orang kafir dzimmi seperti menjahit pakaian, maka dibolehkan tanpa ada perselisihkan (dikalangan Ulama), karena Ali bin Abi Thalib z pernah bekerja menyirami tanaman orang yahudi dengan upah kurma untuk setiap timba”. (Al-Mughni 8/135)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah (dalam Fathul Bari' 4/571) beliau mengatakan, “Berkata al-Muhallab, bahwa para Ulama membenci yang demikian itu (bekerja kepada orang kafir), kecuali karena darurat (maka dibolehkan) dengan dua syarat, yaitu :
1. Hendaknya pekerjaan tersebut halal bagi seorang Muslim untuk mengerjakannya
2. Tidak membantunya dalam perkara yang dapat membahayakan kaum Muslimin.”
Kesimpulannya bahwa hukum asal bekerja pada orang kafir itu adalah boleh, kecuali jika seorang Muslim yang bekerja kepada orang kafir harus mengorbankan agamanya dan melanggar syariat Rabbnya, seperti menjual khamer, babi, membangun tempat peribadatan mereka, dan memata-matai kaum Muslimin, maka hukumnya haram. Tetapi jika pekerjaannya tidak ada kemaksiatan dan tidak mengorbankan agamanya serta tidak membahayakan kaum Muslimin maka hukumnya boleh. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar