Menjelang Ramadhan tak sedikit kaum muslimin yang menyambutnya dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat memotivasi agar semangat dan gembira menyambut bulan suci Ramadhan. Ada juga yang membuat rangkaian kata-kata bijak semisal “ Ramadhan bulan Sabar “, “ Bulan Ramadhan bulan maghfirah, berkah dan rahmat “, Ramadhan bulan Mulia “ dan lain sebagainya.
Namun ternyata ada seorang ulama besar dari kalangan kaum yang identik berslogan kembali kepada al-Quran dan Sunnah-nya, mengharamkan ucapan “ Ramadhan Kariim “..apa alasannya ? mari kita simak dan membahasnya sesuai al-Quran dan Hadistnya, siapakah sebenarnya yang kembali pada al-Quran dan hadits dan kembali kepada pemikirannya sendiri?…
452. Syaikh Ibnu Utaimin ditanya : Ketika seseorang yang berpuasa melakukan perbuatan dosa, lalu ia dilarang, kemudian ia mengucapkan “ Ramadhan Kariim “, maka bagaimakah hokum ucapan tersebut ? Dan bagaimana pula hokum kelakuan itu ?
Maka syaikh menjawab : “ Yang demikian itu hokum ucapan tersebut (Ramadhan Kariim ) tidaklah dibenarkan, seharusnya ia mengucapkan “ Ramadhan Mubarak “ (Ramadhan yang diberkahi) dan yang semisalnya. Karena bukanlah Ramadhan yang sebenarnya memberi hingga patut disebut Kariim (dermawan), dan sesungguhnya yang meletakkan keutamaan di bulan Ramadhan dan menjadikannya bulan utama dan waktu untuk melaksanakan salah satu rukun Islam hanyalah Allah. Dan seoalah-olah orang yang mengucapkan itu menyangka bahwa dengan keutamaan zaman boleh melakukan perbuatan dosa di dalamnya. Ini bertentangan dengan ucapan ulama bahwa perbuatan dosa itu akan menjadi besar jika dilakukn di bulan yang utama, berbeda dengan apa yang dibayangkan pengucap tersebut…dst.”[1]
Tanggapan :
Sepintas tidak ada yang salah dari jawaban syaikh Ibnu Utsaimin dari pertanyaan di atas, namun jika kita perhatikan wujuhud dalil (focus pembahasan dan pendalilan)nya terlihat sangatlah lucu dan ngawur.
Pembahasan :
Ibnu Utsaimin telah benar menjawab keharaman melakukan perbuatan dosa di bulan puasa dan dosanya bisa berlipat ganda. Namun ia telah salah besar mengharamkan ucapan “ Ramadhan Kariim “ apapun alasannya secara muthlaq maupun dinisbatkan dengan perbuatan dosa.
Jika syaikh Ibnu Utsaimin mengharamkan ucapan si pelaku maskyiat “ Ramadhan Kariim “ dengan alasan prasangka si pengucap akan keutamaan di bulan Ramadhan sewaktu ia melakukan perbuatan dosanya, lalu apa bedanya dengan ucapan “ Ramadhan Mubarak “ yang dibolehkan oleh Ibnu Utsaimin ? jika alasannya demikian seharusnya ia mengharamkan ucapan apapun yang dinisbatkan kepada bulan Ramadhan. Karena seharusnya sesuai jalan pemahaman Ibnu Utsaimin, melakukan perbuatan dosa dengan sangkaan bulan ini bulan penuh keutamaan atau keberkahan, sama saja diharamkan.
Contoh gambaran pertama : Ahmad berbuat dosa, lalu ia berkata “ Ini bulan mulia atau ini bulan dermawan “. Oleh Ibnu Utsaimin ucapan itu tidak dibenarkan.
Contoh gambaran kedua : Abdul berbuat dosa, lalu ia berkata “ Ini bulan diberkahi atau bulan penuh berkah “. Oleh Ibnu Utsaimin ucapan ini dibenarkan.
Apa bedanya ??
Jika alasanyya Ibnu Utsaimin mengharamkan ucapan itu dengan alasan prasangkaan si pelaku bahwa boleh berbuat dosa di bulan yang ada keutamaan, maka jelas salah. Karena keharamannya bukan disebabkan ucapan tersebut melainkan semata-mata perbuatannya dan keyakinannya jika kita mengetahui isi hati dan keyakinannya.
Jika Ibnu Utsaimin mengharamkan ucapan tersebut dengan alasan makna kalimatnya yakni bahwa Ramadhan bukanlah kariim (suka memberi) yang kariim (suka memberi) itu hanyalah Allah sebagaimana fatwanya di atas, maka jelas ini suatu pendalilan yang ngawur dan sangat bodoh.
Pertama : Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Bahwasanya amal itu hanyalah bergantung dengan niatnya “.
Semisal seseorang mengatakan “ Aku sembuh minum obat ini “ apakah lantas orang ini kita haramkan ucapannya karena telah meyakini bahwa obatlah yang menyembuhkannya ? atau semisal ucapan “ Makanan ini mengenyangkan “, apakah lantas kita salahkan orang tersebut, atau bahkan kita vonis musyrik karena telah meyakini makanan yang membuat kenyang ?
Jika kita langsung salahkan, maka akal kita telah sakit. Secara fitrah manusia tidaklah sesorang mengucapkan Ramadhan Kariim (mulia), terkecuali ia telah meyakini bahwa Allah-lah yang meletakkan kemuliaan pada bulan Ramadhan tersebut.
Bukankah dalam al-Quran sendiri Allah sering kali menisbatkan sesuatu kepada sebabnya, missal Allah berfirman :
ماهذا بشر إن هذا الا ملك كريم
“ Ini bukanlah manusia, melainkan malaikat yang kariim (mulia) “ (QS. Yusuf : 31)
Missal lagi Allah berfirman :
ولقد فتنا قبلهم قوم فرعون وجاءهم رسول كريم
“Dan demi Sesungguhnya! Sebelum mereka, Kami telah menguji kaum Firaun, dan merekapun telah didatangi oleh seorang Rasul (Nabi Musa) Yang mulia “. (QS. Ad-Dukhan : 17)
Apakah lantas ayat ini kita katakan tidak benar, dengan alasan bukan malaikat dan Rasul yang kariim tapi Allah ?? kita berlindung dari sifat safiihul aql (lemahnya akal)..
Dalam ayat yang lain Allah berfirman :
قل يتوفاكم ملك الموت
“Katakanlah wahai Muhammad: "Nyawa kamu akan diambil oleh Malakul-Maut “. (QS. As-Sajdah : 11)
Apakah malaikat Maut yang mewafatkan nyawa makhluk Allah ? salahkah Allah berfirman seperti itu ?? naudzu billahi min sakhoofatil aql (kita berlindung dari rusaknya akal).
Kedua : Dalam ilmu Shorof, kata Kariim (كريم ) memiliki banyak bab dan maknanya salah satunya bab karuma dan akroma. Makna pada bab fa’ula adalah mulia pada dirinya contoh : Nabaatun kariim (Tumbuhan mulia) atau farasun kariim (kuda mulia) dan mulia akhlaknya, contoh : rojulun kariim (seseorang yang mulia akhlaknya). Contoh lainnya : karuma as-sahaabu maknany awan itu membawa hujan dan seterusnya.[2] Al-Farra mengatakan :
العرب تجعل الكريم تابعا لكل شيء نفت عنه فعلا تنوي به الذم
“ Kaum Arab menjadikan kalimat “ Kariim / mulia “mengikuti segala sesuatu apapun yang bertujuan meniadakan celaan “.[3]
Demikiannya juga kalimat “ Ramadhan Kariim “ dalam ilmu bahasa Arab bermakna : “ Ramadhan yang mulia “ atau bisa “ Ramadhan yang dimuliakan “.
Dengan kaidah ini, tidak bisa disalahkan sama sekali orang yang mengucapkan “ Ramadhan Kariim “ dalam keadaan apapun.
By : Shofiyyah An-Nuuriyyah
07-07-2022
[1] Majmu’ Fatawa wa Rosaail Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, juz 20 hal. 93-94, nomer. 452
[2] Lisanul Arab, juz 13 hal. 53
[3] Lisanul Arab, juz 13 hal. 52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar