Oleh Suryono Zakka
Kita sepakat bahwa jika musik diikuti dengan lirik yang mengajak kepada kemaksiatan atau ditampilkan dengan biduan yang mengumbar syahwat maka haram untuk didengar dan ditonton. Bagaimana jika ditampilkan dengan lirik atau nyayian yang mengajak kebaikan bahkan untuk dakwah?
Bagi kelompok Wahabi, semua jenis musik haram tak peduli walaupun musik itu diisi dengan lirik yang mengajak kebaikan atau dakwah. Menurut mereka, semua musik mengajak kepada kelalaian dan melupakan ibadah jadi hukumnya mutlak haram. Sedangkan bagi kelompok Aswaja seperti NU, boleh atau tidak musik bisa dilihat dari substansi. Jika musik diikuti dengan lirik yang mengandung nasehat dan kebaikan maka boleh.
Hadits yang menjadi andalan Wahabi untuk mengharamkan musik diantaranya hadits yang teks panjangnya berbunyi:
وقال هِشامُ بن عَمار حدَّثنا صَدَقةُ بن خالد حدَّثنا عبدُ الرحمنِ بن يزيدَ بن جابرٍ حدَّثنا عطيةُ بن قيس الكلابيُّ حدَّثنا عبد الرحمن بن غَنْم الأشعريُّ قال: حدثني أبو عامر ـ أو أبو مالكٍ ـ الأشعري والله ما كذَبَني «سمعَ النبيَّ صلى الله عليه وسلّم يقول: ليكوننَّ من أُمَّتي أقوام يَستحلُّونَ الْحِرَ والحَريرَ والخمر والمعازِف، ولينزِلنَّ أقوام إلى جَنبِ عَلم يَروحُ عليهم بسارحةٍ لهم، يأتيهم ـ يعني الفقيرَ ـ لحاجة فيقولوا: ارجِعْ إلينا غَداً فيُبيِّتُهمُ الله، ويَضَع العَلَمَ، ويَمسَخُ آخرينَ قِرَدةً وخنازيرَ إلى يوم القيامة».
“Akan datang pada umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutra, khamr (minuman keras) dan alat musik, dan sungguh akan menetap beberapa kaum di sisi gunung, di mana (para pengembala) akan datang kepada mereka dengan membawa gembalaannya, datang kepada mereka -yakni si fakir- untuk sebuah keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah menghancurkan mereka pada malam hari, menghancurkan gunung dan merubah sebagian mereka menjadi kera dan babi sampai hari Kiamat. (HR. Bukhari)
Meskipun hadits ini dicatat oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, beberapa ulama memberikan catatan khusus tentang hadits ini. Hadits ini memiliki cacat dari segi sanad (periwayat) maupun matan (redaksi). Para ulama meragukan ketsiqahan (kredibilitas) Hisyam bin 'Ammar, periwayat hadits ini. Ibnu Hazm mengkritik keras hadits ini sebagai hadits yang mu'allaq (terputus). Mayoritas ulama menyatakan hadits ini sebagai hadits idhtirab (bermasalah).
Dari segi matan (redaksi), hadits ini tidak sharih (tidak jelas). Kata al-Hira (الحر) dimaknai zina yang kata asalnya berarti kemaluan. Jika dihalalkannya kemaluan atau hubungan seksual melalui nikah maka diperbolehkan. Bertentangan dengan hadits ini. Keharaman sutra tidak mutlak sebab hanya larangan untuk laki-laki. Khamr dalam kondisi darurat bisa menjadi halal dan tidak disebutkan secara detail jenis musik tertentu yang diharamkan.
Jelaslah pandangan ulama yang membolehkan musik bahwa keharaman alat musik tidak bersifat mutlak. Kalaupun hadits ini dapat dianggap shahih namun faktanya tidak sharih. Manusia secara fitrah memiliki naluri keindahan sehingga tidak perlu menyelisihi fitrah. Jika digunakan dalam hal yang positif maka diperbolehkan bahkan sangat dianjurkan sebagai sarana dakwah terlebih jika musik tersebut dapat mengajak untuk mengingat kebesaran Allah. Namun jika digunakan dalam rangka kemaksiatan atau menyebabkan kelalaian ibadah maka mutlak haram.
Kontroversial antara hukum halal dan haram tentang musik sebenarnya sudah sejak lama terjadi dikalangan ulama. Jika kelompok Wahabi mengharamkannya maka sah-sah saja namun kelompok Wahabi perlu membuka cakrawala pengetahuan agar melek sehingga juga mengetahui dalil ulama yang membolehkan musik agar terhindar dari sikap picik dan takfiri. Ekstrimisme hanya akan menciderai ajaran Islam. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar